Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau tuk menjadi yang pertama
Yang slalu ada disaat pagi ku membuka mata
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh! Tepat pukul 8 malam ini kami hadir kembali menghiasi telinga-telinga cantik anda yang setiap malam selalu setia mendengarkan Voice Radio 101.6 Fm,” sapa penyiar itu dengan sapa hangatnya.
“Baru aja tadi kita dengerin lagunya Maliq & D’Essentials dengan Pilihanku. Diambil dari album ketiganya yang berjudul Mata Hati Telinga. FYI, sekarang Maliq udah punya album keempat, yang diluncurkan tahun 2010 kemaren yang bertajuk Beautiful Life. Isinya hanya ada 7 lagu, tapi kalau kalian membeli buku yang dikeluarkan oleh Maliq & D’Essentials yang berjudul sama, Beautiful Life juga. Kalian akan mendapatkan bonus CD original album mereka. So? Buruan ke toko buku terdekat sekarang juga! Siapa tau stoknya masih ada.”
“Oke. Masih sama seperti malam malam sebelumnya, gue Jenna Hasan bakal nemenin kalian di Voice Radio 101.6 FM ini dengan telpon-telponan di line telefon biasa, 0251-433544. Dan sebelum kita betelponan ria, ngabisin pulsa untuk nelpon gue. Gue pengen kalian ngedengerin lagu yang satu ini dulu. Stay tune in 101.6 Voice FM Radio. Moving On dari Andien. Lets cekidot!”
BLUP!
Tiba-tiba radio itu mati.
“Eh, Bang! Kok dicabut sih kabel radio gue? Lagi asik juga!” ujar Diva, pendengar setia VR FM.
“Ah, basi banget sih lo ngedengerin radio? Udah ada televisi juga. Masiihhhhh aja ngedengerin radio. Kayak orang dusun kampung katrok aja lo ngedengerin radio. Ckckck,” olok Divo, kakak Diva sambil menyambungkan kabel charger laptopnya ke socket radio tadi.
“Eh, suka-suka gue dong? Telinga-telinga gue? Lagian acaranya tu bagus tau. Cocok buat gue yang bakal ngelanjutin kuliah di psikologi,” kata Diva sambil mengkhayal melanglang buana.
BUK!
“Kalo ngayal tu ngayal yang ada aja duluuu, nggak usah jauh-jauh. Baru masuk SMP aja udah mikirin kuliah,” kata Divo setelah melempar bantal ke adiknya.
“Yeeeee biarin aja. Weekkk. Eh, colokin lagi radio gue!”
“Ngapain? Ogah! Gue mau nge-charge laptop.”
“Ditempat lain aja kenapa nge-chargenya? Emang di kamar lo nggak bisa?”
“Kalo gue pengen disini kenapa?”
“Argh. Mamiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!!!!!!! Abang, Miii!!!!”
“Ih, ih. Ngadu ih. Udah SMP masih ngadu. Haduh haduhh. Mau jadi apa generasi muda jaman sekarang ini. Dikit-dikit masih ngadu sama nyokap.”
“Ada apa sih? Kok ribut-ribut gini? Kenapa, Va?” tanya Mami yang reflek langsung mendatangi Diva setelah Diva memanggilnya.
“Abang, Mi! Nyabut colokan radio Diva!”
“Banggggg..”, kata Mami sambil melirik ke Divo.
“Abang mau nge-charge laptop, Mi.. Masa nggak boleh?”
“Emang nggak ada tempat lain?”
“Disini enak Mamiku sayanggggg…”
“Ya masa ngeganggu adek gitu? Cari tempat lain gih sana. Kekamar.”
“Yahhhhh, gue di usir,” kata Divo sambil membereskan peralatan laptopnya.
“MAMPUS!!! Eh! Eh! Colokan radio gue! Colokin lagi!” kata Diva.
“Nggak ah.”
“Mami!” Adu Diva.
“Bang..”
“Iye yeee. Nih gue colokin. Puas lo? Dasar anak kecil bawel cerewet tukang ngadu. Wekkk.”
“Weekk!”, balas Diva dengan penuh kemenangan.
Divo dan Diva Wijaya. Dua kakak-beradik yang tidak pernah akur. Setiap hari ada saja yang mereka perdebatkan. Ya inilah. Ya itulah. Saat ini, Divo tercatat sebagai mahasiswa semester 3 di salah satu perguruan swasta di Bogor. Lelaki yang doyan ngeband ini sangat semangat sekali jika disuruh untuk mengganggu adiknya yang baru saja masuk SMP di SMP Budi Bakti Bogor. Ya waktu Diva pertama kali haid lah. Waktu Diva smsan sama cowok. Waktu Facebook Diva berstatus In a Relationship. Semuanya Divo komentarin. Niatnya pengen ngegodain. Tapi lama-lama malah jadi berantem. Debat-debatan malah. Ujung-ujungnya? Diva ngelapor Mami. Dan, SKAK! Divo yang kena omel.
***
Lembaran hari pun sudah terganti. Saat matahari sedang menampakkan wajahnya, Honda Jazz milik Divo itu kini sudah sampai ditempat tujuannya. Mobil itu pun diparkirkannya tepat didepan Voice Studio Band. Tempat dimana Divo akan latihan band. Mulai awal bulan ini, setiap harinya setelah mengantarkan Diva ke sekolah, Divo pergi latihan band distudio band itu bersama teman-teman kuliahnya. Mempersiapkan diri sebelum kompetisi band akhir bulan ini.
“Halo?” ujar Divo mengangkat telpon dari telepon genggamnya yang berbunyi sejak tadi.
“CEPETAN WOOOOOOOOYYYYY! Anak-anak udah pada nungguin nih.” teriak Zaldi, si vokalis band.
“Iya iyaaa.. ini udah nyampe juga,” Tit! Telepon itu dimatikan. Namun tiba-tiba..
BRUK!!
Seorang perempuan manis dengan rambut yang diikat ekor kuda tiba-tiba menabrak Divo setelah berlari kayak copet habis nyopet.
“Aduh. Eh, sorry sorry. Gue lagi buru-buru. Sorry ya. Sorry,” ujar perempuan itu meminta maaf ke Divo dengan kedua tangannya yang berpose ala Minal Aidin Walfaizin Mohon Maaf Lahir dan Batin didepan wajah sambil memejamkan matanya.
“Sorry yaaa. Sorry banget.” kata perempuan itu lagi masih dalam posisi yang sama.
Divo hanya diam, tak menanggapi sepatah katapun dari perempuan itu. Dipegangnya tangan perempuan itu. Menepikannya dari wajahnya. Mata perempuan manis itu pun tersentak terbuka. Dilihatnya Divo tengah memperhatikannya dengan seksama. Memperhatikan wajahnya, dan memperhatikan matanya. Semua terlihat jelas dimata perempuan itu kalau Divo tengah memandangnya. Seperti ada sensasi tersendiri saat Divo melihatnya seperti itu. Tatapan Divo tajam. Dengan bibir yang sedikit disunggingkan, tapi tetap terlihat cool. Perempuan itu pun balik menatapnya pula. Dengan angkuh, tanpa ekspresi. Perempuan itu menatap mata Divo dalam-dalam. Seperti ada sesuatu di mata lelaki itu. Tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Drrrtttt. Drrrtttt. Handphone perempuan itu bergetar.
“Halo? Oh, iya mbak. Maaf. Iya ini Jeje udah ada didepan studio kok. Tunggu yeee,” kata perempuan itu.
“Ehm. Permisi..” ujar perempuan itu lagi sambil berlalu dari tempat itu. Peristiwa tatap-tatapan itu pun berakhir. Divo terpaku ditempat sambil memandangi perempuan itu masuk ke sebuah Radio Studio.
***
“Jeje? Hmmm.. namanya lucu. Kayak orangnya. Gue suka ngeliat matanya. Tatapannya tajam. Sama kayak gue,” ucap Divo dikamarnya. Mengingat kejadian tadi pagi, didepan Voice Studio. Peristiwa tatap-tatapan dengan wanita yang belum pernah dikenalnya namun sudah menarik hatinya. Membuat pikirannya kacau kemana-mana.
“Assalamuailaikum Warahmatullahi Wabarakatuh para listeners dan Jennaholic sekalian! Kembali lagi bersama gue, Jenna Hasan, hadir di lembaran ke 5 di kalender bulan Februari lo. Seperti biasa, masih sama seperti malam-malam sebelumnya, gue bakalan buka sesi curhat di malam yang dingin ini. Dingin nggak sih? Dingin kan? Udah diluar hujan, di dalem pake AC pula. Ampunnn dinginnya MasyaAllah. Eh, Bejo naikkin dong suhunya! Biar anget, kan dingin dingin gini enaknya yang anget-anget. Apalagi kalo ada wedang ronde, mantep bener daahhhh! Ya kan listeners? Okay, back to the topic. Untuk malam ini, tema curhatan kita adalah BACKSTREET. Bagi kalian yang mungkin lagi backstreetan dari emak lo, atau mungkin dari cowok lo yang lain bisa langsung aja telpon ke …”
“Astaga, Diva. Nyaring bener dah nyetel radio. Kayak lagi di pos kamling aja dah. Mending dah kalo dia nyetel lagu western atau apa. Lah ini? Radio? Wah, ngajak berantem ni anak,” ucap Divo sambil beranjak dari tempat tidurnya menuju ke kamar Diva yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya.
“Heh, anak kecil. Bisa dikecilin nggak volumenya? Kalau nggak gue cabut lagi nih colokannya,” kata Divo setengah mengancam.
“Eits! Tidak bisa. Mau apa lu, Bang? Kalau mau nyabut colokan harus lewatin dulu mayat gue,” balas Diva.
“Weh, nantang ya sekarang ya. Oke kalau gitu. Sini lawan abang kalau berani.”
“Hiyaaaaaa!!!!!!!!! Wataaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!” teriak Diva tiba-tiba memasang kuda-kuda sambil mengeluarkan senjata perang terbarunya. Raket nyamuk.
“Eh! Curang lo. Nggak boleh pake senjata. Harus dengan tangan kosong! Taroh raketnya!”
“Nggak mau. Gue mau pake senjata. Nggak mau tau.”
“Pritttttttttttttttt,” Divo menirukan suara peluit layaknya di pertandingan-pertandingan. “Maaf, Anda terdiskualifikasi karena telah memakai senjata dalam peperangan. Maka pemenangnya adalah Divo Wijaya! HAHAHAHAHA”
“Woooooo.... Nggak bisa! Nggak bisa! Masa gue nggak boleh pake senjata? Sadar diri woy! Badan lo gede. Penganiayaan namanya kalau lo ngelawan gue sementara gue kecil begini.”
“Makanya minum susu biar cepet gede. Gue dulu waktu SMP perasaan nggak sekecil elo deh.”
“Yaiyalah lo kan cowok, Bang!”
“Apa bedanya coba? Udah! Pokoknya gue yang menang. Kabel radio lo harus dicabut.”
“Jangaaaannnnnnnn!!!!! Hari ini Mbak Jeje yang siaran!!! Please, Bang. Dia penyiar radio favorit gue.”
“Siapa lo bilang?”
“Apaan?”
“Itu yang siaran.”
“Mbak Jeje. Dia penyiar radio favorit gue. Ayolah, Bang.. Jangan dicabut ya kabelnya ya? Ya? Ya?”
“Hai, Listeners sekalian! Kembali lagi bersama gue disini. Barusan aja tadi udah gue puterin lagu dari…” suara musik dari radio itu kini tergantikan dengan suara sang penyiar radio. Divo tersentak mendengar suara ini. Sama persis dengan suara yang didengarnya tadi pagi. Saat ia bertabrakan dengan Jeje.
“Disaluran berapa ni radio, Div?” tanya Divo.
“101,6. Voice Radio. Kenapa emang, Bang? Tertarik lo mau ngedengerin radio juga?”
“101,6 ya? Makasih adekku sayang! Muah! Muah!” ujar Divo sambil bergegas kekamarnya meninggalkan Diva.
“Loh? Nggak jadi nyabut colokan radio gue, Bang?”
“Nggak jadi! Udah nggak mood!”
“Hah? Dasar aneh.”
“Seratus satu koma enam. Seratus satu koma enam. Seratus satu koma enam. Seratus satu koma enam….” ujar Divo komat-kamit sambil mengutak atik sounds playernya. Mencari aplikasi radio FM. Kemudian mencoba mengatur saluran FMnya.
“Ketemu!” ucap Divo tiba-tiba.
“Jadi gini. Lo kan backstreet gara-gara emak lo nggak pengen lo pacaran dulu,” kata Jeje diradio itu. “Menurut gue, lo wajar-wajar aja sih lo pacaran diam-diam. Namanya juga anak muda. Tapi, ada baiknya lo terbuka sama emak lo. Kali aja malah emak lo membolehkan lo pacaran. Kalau memang kalian pacarannya baik-baik, nggak seperti yang emak lo takutkan, ngapain takut buat minta restu? Ya pokoknya menurut gue, lebih baik lo ngomong sama emak lo. Minta restu. Trus….”
“Suara ini… Iya.. bener.. persis sama kayak suaranya tadi pagi. Lembut, tapi tegas,” ucap Divo.
“Oke Listeners! Karena waktunya tinggal 15 menit lagi buat gue siaran, maka buat lo lo pada yang mau curhat sama gue disini, masih bisa telpon di 0251-433544...”
Mendengar itu, tangan Divo langsung reflek mengambil handphonenya yang tergeletak diatas tempat tidur kemudian menekan angka-angka yang telah disebutkan tadi.
Tiiiiit…. Tiittttttt….. Telepon diradio itu berbunyi.
“Halo dengan siapa dimana?” sapa Jeje.
“………..”
“Halo?” ulang Jeje sekali lagi.
“Hah? Oh iya dengan Divo di Cempaka Putih.”
“Oke Divo. Mau curhat apa?”
“Curhat? Gue nggak mau curhat.”
“Jadi? Lo nelpon kesini mau ngapain?”
“Gue….. gue mau kenalan sama lo.”
“Apa? Kenalan sama gue? AHAHAHAHAHAHA,” tawa Jeje meledak. “Maaf ya, disini buka sesi curhat. Bukan sesi kontak jodoh.”
“Boleh minta nomor lo? Gue pengen banget kenalan sama lo.”
“AHAHAHAHAHA. Lo siapa sih? Kayak udah pernah liat gue aja. Gue itu jelek, item, kurus. Lo nggak bakal tertarik deh sama gue.”
“Gue tau lo kok. Gue pernah ketemu lo. Lo itu cantik, putih, langsing, dan punya pandangan mata yang tajam.”
“Salah orang kali lo….. Muka gue kan pasaran. Emang lo liat gue dimana?”
“Tadi pagi. Di depan Voice Studio. Rambut lo dikuncir kuda. Lo pake baju warna hijau dan kacamata. Lo nabrak gue tadi pagi.”
“WHAT?!”
“Iya, gue yang lo tabrak tadi pagi.”
“……….”
“Halo?”
“Bener… lo yang gue tabrak tadi pagi?”
“Iya.”
“EHM! Karena ini telpon radio… dan EHM! gue masih on-air dan waktu gue siaran tinggal 5 menit lagi. Maka………. gue-tutup-telpon-lo! BRUK!” ujar Jeje diikuti dengan suara telpon radio yang ditutupnya dengan keras.
“Anjir! Telponnya ditutup!” kata Divo.
“Ehm. Ehm. Oke Listeners. Karena waktu kita tinggal sedikit lagi untuk menuntaskan acara ini, maka saya Jenna Hasan mohon undur diri dari telinga Anda. Jangan coba-coba kangen pada saya, kalau nggak mau saya menghantui mimpi Anda. Ini lagu terakhir untuk malam ini, Secondhand Serenade – Fall For You. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
Lagu itu pun kini menggantikan suara Jeje sebagai penutup acara malam itu. Divo mencoba menekan ulang nomor telpon radio tadi di telpon genggamnya. Ia yakin, Jeje pasti masih ada disana.
Tiittt… tittt…
Belum diangkat.
Tiittt… Tiiittt…
“Halo?”
“Umm, Halo Jeje?” ujar Divo agak ragu. Takut salah orang. Siapa tau malah pembantu radio yang ngangkat.
“Iya, ini gue Jeje. Ada apa?”
“Ini gue Divo.”
“Divo? Divo yang tadi?”
“Iya”
“Ya ampunnnn.. Lo ada perlu apasih sama gue? Berasa kayak gue punya utang aja sama lo.”
“Kan gue udah bilang tadi, gue.. mau kenalan.”
“Aduh maaf ya Divo, gue nggak bisa.”
“Nggak bisa kenapa?”
“Ya nggak bisa aja. Lo kenapa sih? Mau tau urusan gue aja. Itu kan hak gue mau kenalan sama lo apa enggak.”
“Sorry”
“Hmm…” ujar Jeje sekenanya.
“Je..”
“Ya?”
“Maaf kalo gue ngeganggu lo. Niat gue baik kok. Gue cuman mau kenalan sama lo. Gue nggak mau ngapa-ngapain. Kalo lo yakin gue nggak bakal ngapa-ngapain lo, besok gue tunggu di Lea’s Café jam 2 siang. Gue pengen ketemu lo. Pengen kenal sama lo. Ya itu sih kalo lo percaya sama gue kalo gue niatnya baik. Tapi kalo memang lo nggak percaya juga nggak papa. Gue tetep nungguin lo disana sampe cafenya tutup. Gue harap lo percaya.”
Tut.. tut.. tut.. Telpon itu diputus.
***
“Aduh, perut gue. Sumpah kenyang banget. Gara-gara elu sih Yo, ngajak makan disini. Jadi kenyang gini kan...” ucap Diva sambil memegangi perutnya.
“Dasar dodol. Mau lo makan dimanapun juga bikin kenyang kali.” Ujar Rio, teman kantor Jeje.
“Ya nggak sekenyang ini jugaaaaaaa. Tadi itu porsi kuli, men.”
“Siapa suruh dihabisin.”
“Laper, koplak. Eh, btw jam berapa nih?”
“Jam 4. Kenapa, Je? Ada janji?”
“Jam empat??! Waduh, gak ada janji sih gue tapi... gue pergi duluan yak. Daaaahhhh!” kata Jeje sambil bergegas pergi dari rumah makan itu.
“Dih, main pergi-pergi aja. Belum bayar lagi. Dasar Jeje”
“Duhhh untung, Lea’s deket. Gak bakal deh gue bela-belain datengin dia.”
“JEJE!” teriak Divo dari pojok ruangan.
“Divo?” Jeje pun perlahan menghampiri meja yang di tempati Divo dan duduk disana. Agak malu juga gara-gara Divo meneriakinya, semua pengunjung cafe jadi memperhatikannya.
“Gini ya Div, langsung to the point aja ya. Gue kesini bukan buat ngedatengin lo, ngeladenin lo yang pengen kenalan sama gue. Gue cuman mau ngelurusin satu hal. Bahwa lo gak bisa deket-deket sama gue besok dan seterusnya. Mau lo sujud-sujud ke gue juga lo gak bakal bisa deket sama gue.”
“Kenapa? Lo udah punya pacar? Udah tunangan? Apa udah kawin?” tanya Divo penasaran.
“Gue gak bisa kasih alasannya ke elo. Yang jelas, permisi. Gue balik duluan.”
“Tunggu.” Divo menarik tangan Jeje. “Kalo gue gak boleh deket sama lo untuk besok dan seterusnya. Boleh kalau gue deket sama lo hari ini? Cuman hari ini aja.”
Jeje diam. Ditatapnya mata Divo dalam-dalam. Dan sekali lagi, mereka terhanyut dalam pandangan masing-masing.
“Sorry, gue gak bisa.” Jeje beranjak dari tempat itu. Matanya berkaca-kaca meninggalkan tempat itu. Merasa ada yang ganjil, diam-diam Divo mengikutinya berjalan dibelakang.
Jeje berjalan sangat cepat. Hingga akhirnya ia sampai pada taman kota yang tak jauh dari Lea’s. Di taman itu sedang ramai dengan anak-anak yang bermain bola dan orang-orang yang sedang jogging. Ia mengambil sebuah tempat teduh dibawah pohon dan duduk disana. Dipandanginya anak-anak yang bermain bola itu. Hingga akhirnya air matanya mengalir dipipinya. Teringat akan masa lalunya yang kelam.
“Nggak usah nangis. Ntar tambah jelek.” kata Divo tiba-tiba duduk di sebelah Jeje.
Jeje menghapus air matanya cepat-cepat. “Ngapain lo disini? Kok tau gue ada disini?”
“Gue pengen nemenin lo. Gue ngikutin lo dari Lea’s tadi. Gak sadar ya?” jawab Divo.
“Enggak. Lo gigih ya? Sampe ngikutin gue gini coba.”
“Haha. Ibarat pepatah, mumpung janur kuning belum melengkung, boleh dong gue deketin lo? Lagian masa lo udah nikah. Nggak mungkin banget.”
“Kata siapa gue belum nikah? Dih, sok tau.”
“Nggak perlu kata siapa juga udah ketauan. Kalo lo udah nikah, lo pasti udah bilang dari awal kalo lo udah nikah. Dijari lo gak ada cincin kawin. Tampang lo juga gak kayak tante-tante.” ucap Divo.
“Hahaha. Jadi menurut lo kalo tampangnya udah kayak tante-tante bisa dibilang udah kawin? Dasar ngaco!”
“Loh, iya kan? Haha. Coba lo pikir deh. Kalo lo ketemu mama dari temen lo. Lo bakal panggil dia apa?”
“Tan...te”
“Tuh. Bener kan. Apa kata gue.” Ujar Divo sambil senyum-senyum cengengesan.
“Dasar aneh.” Balas Jeje.
“Oiya, ini buat lo.” Divo menyerahkan bungkusan plastik berisikan es krim berbentuk hati. “Waktu lo ngelamun lama, gue ke mini market bentar nyari sesuatu buat lo. Eh, nemu ini. Gue pikir kalo gue kasih ini, mood lo bakal balik lagi. Kan coklat bikin orang seneng. Hehe”
“Thanks ya.” Ucap Jeje.
“Your welcome, tante!”
“Eh?”
“Udah, gak usah berisik. Dimakan tuh es krimnya. Ntar cair nggak enak lagi.”
“Iya cerewet.”
Bungkus es krim itu pun dibuka oleh Jeje. Sambil memandangi anak-anak yang bermain bola, dimakannya es krim pemberian Divo itu.
“Ngomong-ngomong Div. Lagi nganggur?” tanya Jeje.
“Gue? Sorry Je. Gue lagi sibuk. Malam ini gue ada manggung di Chlorofil. Besok pagi gue musti nganter adek gue sekolah. Terus mandi, makan. Setelah itu nonton tv. Habis itu makan. Setelah makan gue tidur. Habis bangun tidur gue mandi. Terus gue..”
“Serius ah! Bisa temenin gue malem ini? Mood gue lagi berantakan banget.”
“Siaran lo gimana? Lo malem ini siaran kan?”
“Gampang. Ntar gue suruh Gina gantiin gue. So? What’s more?”
“Oke! Lets go!” kata Divo sambil menarik tangan Jeje. “Eh! Eh! Sabar! Kita mau kemanaa??” tanya Jeje.
“Udah, ikutin aja kata gue.”
“Karaoke? Kita mau karaokean? Aduh, suara gue jelek gak bisa nyanyi. Ke tempat lain aja yuk.” Kata Jeje dengan raut muka tidak enak saat mereka sampai didepan Karaoke Family itu.
“Gue gak peduli suara lo mau jelek apa bagus. Mau lo bisa nyanyi apa kagak gue gak peduli. Katanya minta temenin?” ucap Divo meyakinkan.
“Iya, tapi....”
“Udah, percaya aja sama gue. Oke?”
Dan sampailah mereka di sebuah ruangan kecil di Karaoke Family itu. “Nah! Sekarang kita mau nyanyi apa?” tanya Divo.
“Lo duluan aja deh yang nyanyi. Gue belum mood.” Jawab Jeje seadanya.
“Je? Lo nggak apa-apa kan, Je? Gue terlalu maksa lo ya?”
“Nggak kok, Div. Gue gak kenapa napa. Cuman belum nemu moodnya aja buat nyanyi.” Ucap Jeje sambil tersenyum. Menyakinkan Divo.
“Nggak. Nggak bisa. Kita berdua harus nyanyi bareng. Gue pilihin yang ngebeat ya?”
“Serah lo deh”
Now Playing Linkin Park – In The End
“Lo bagian reffnya ya. Nih” ujar Divo sambil memberikan salah satu mikrofon ke Jeje. “Jangan bilang lo nggak tau lagu ini. Lo penyiar, Je”
“Iye iye. Gue tau lagu ini kok.”
Dan Divo pun mulai menyanyikan lagunya. “It start with.. one thing! I dont know why! It doesnt even matter how hard you try. Keep..
“Come on! Keluarin semua suaramu Je!”
“I try so hard end then so faaaaarrr. In the eennnnnddd it doesnt even matter! I had to fall to losing all. IN THE EEEENNNNNNNDDDDDD. IT-DOESNT-EVEN-MATTER!!!”
“Wow. Tepuk tangan buat Jenna Hasan!” kata Divo sambil tepuk tangan di ruangan itu. Sesekali ia bersiul disana.
“Udah deh, Vo. Nggak usah usil. Cepet lagu lain lagi!”
“Oke, Nyonya. Siap! Mau lagu apa, nduk?”
“Ini aja deh.”
Now Playing Avril Lavigne – When Youre Gone
I always needed time on my own
I never thought I'd need you there when I cry
And the days feel like years when I'm alone
And the bed where you lie is made up on your side
When you walk away I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now
Raut muka Jeje mulai berubah. Lagu itu benar-benar dihayatinya. Divo yang sedari tadi duduk disebelah Jeje mulai curiga. “Je... lo nggak papa kan?” tanyanya. Jeje hanya diam saja. Lagu itu pun dilanjutkannya.
When you're gone..
The pieces of my heart are missing you
When you're gone..
The face I came to know is missing too
When you're gone..
The words I need to hear to always get me through the day and make it ok
I miss you................
Dan..... Jeje terisak. Divo bingung. “Je? Lo kenapa?”
“Dia.. Dia ninggalin gue gitu aja, Div. Dia nggak pamit. Dia nggak bilang apa-apa. Dia.. Dia..” Air mata Jeje meluap membasahi pipinya. Divo memeluknya.
“Kenapa dia tega sama gue, Div? Kenapa dia diem aja? Kenapa??”
Divo semakin erat memeluk Jeje. Memberikan kehangatan disana. Menenangkannya sambil sesekali membelai rambutnya. Mengisyaratkan bahwa Jeje tak sendiri.
Lalu, apakah yang sebenarnya
terjadi dengan masa lalu Jeje? Akankah
mereka akan bersama?
TO BE CONTINUED :p
1 comments:
menarik &lucu, ceritanya mengalir...
Post a Comment